“Kau tidak pulang ke
Magelang, Pras?” Seorang lelaki muncul dari balik pintu, mengagetkan Pras yang
duduk di lincak teras rumah sambil menatap hujan.
“Tidak, mas Asan. Males
liburan di rumah, ga ada kerjaan. Di rumah juga cuma ada bapak sama ibuk, ga
ada temen main,” jawab Pras.
Mas Asan tertawa. “Kau
sedang ngambek sama orang tuamu ya?” selidiknya.
Pras pun menceritakan
masalahnya. Hal itu dimulai ketika orang tuanya menanyakan IP-nya semester ini.
Dan tanpa dicegah orang tuanya pun membandingkannya dengan kakanya, Mela, yang
IP-nya selalu cumlaude. Pras kesal, dan diapun memilih ke rumah mas Asan
liburan semester ini, malas pulang ke rumah.
“Memangnya kenapa Pras
kalau dibandingin? Kan kakakmu itu memang jenius. Sarjana lulusan terbaik
fakultas kedokteran,” mas Asan terkekeh.
“Tapi kan tiap orang
beda mas, ga bisa dibandingin. Lagipula aku kan di jurusan teknik. Bapak-ibuk
selalu saja lebih sayang sama mbak Mela. Kadang aku penasaran, seberapa sayang
sih mereka sama aku?” Pras mendengus sebal.
“Terlalu lama kuliah di jurusan teknik
membuatmu berpikir semua hal dapat diukur dengan angka, Pras,” mas Asan
tersenyum, melanjutkan, “kau ini sudah mahasiswa semester akhir, namun
perilakumu masih seperti anak kecil saja.”
Pras terdiam, malas
menanggapi kalimat mas Asan. Menatap hujan yang tak kunjung reda, padahal dia
ingin pergi jalan-jalan bersama temannya.
“Pras, ada hal di dunia
ini yang tidak bisa diukur, dinyatakan dengan angka. Tidak bisa kau beri satuan
cm, gram, atau liter. Lebih luas dari samudra, lebih besar dari keliling bumi,
lebih dalam dari palung terdalam sekalipun. Lebih tinggi dari langit, lebih
jauh dari jarak bumi dan matahari. Dan hal itu adalah kasih sayang orang tua.”
“Apanya yang salah
dengan dibanding-bandingkan? Memang tidak menyenangkan, namun jadikanlah hal
itu motivasi untuk jadi lebih baik lagi. Aku ingat beberapa bulan lalu waktu
kau telepon ibumu untuk minta dibelikan hp baru, yang lebih canggih. Dan apa
yang kau katakan? Temen-temen sekarang
pake android buk, masak aku enggak. Bukankah kau sendiri membandingkan
dirimu dengan orang lain? Dengan orang lain yang lebih berada dari keluargamu
sebagai alasan untuk meminta. Apa yang orang tuamu lakukan? Sebulan kemudian
mereka mengirimu uang supaya kau bisa beli hp baru. Mereka tidak pernah
mengeluh, Pras. Sedetikpun tidak.”
Mas Asan terdiam
sejenak, mengatur napas. Pras bisa melihat mata mas Asan mulai berkaca-kaca.
“Apa kau pernah
membayangkan, betapa sedihnya orang tua ketika melepas anaknya pergi menuntut
ilmu di kota orang? Apalagi kau anak bungsu, kakakmu sedang koas di Jakarta,
pasti sepi sekali rumahmu. Tapi orang tua tak akan pernah menahan anaknya,
mereka ingin anak mereka terbang tinggi meraih cita-citanya meski tidak mudah
bagi mereka melepasnya. Tentu mereka tak akan menunjukkan kesedihan itu di
depan anaknya. Kau harusnya bersyukur masih punya dua orang tua, Pras. Tapi kau
menengok orang tua yang tak kau temui hampir setengah tahun pun enggan.”
Pras tertegun. Ada
perasaan bersalah dalam hatinya.
“Sudahlah, tidur Pras.
Hujan tidak akan reda sampai pagi,” mas Asan tersenyum, berdiri dan kemudian
masuk ke dalam rumah.
Dan benar, hujan terus
mengguyur desa kecil di pinggiran kota itu, membuat setiap orang nyaman sekali
tidur di bawah kemul tebal.
***
Pras berlarian panik di
lorong rumah sakit, tak peduli beberapa kali hampir menabrak orang di depannya.
Dia berhenti di depan sebuah kamar. Di depannya seorang lelaki separuh baya
duduk melamun.
“Pak, gimana keadaan
ibuk?” tanya Pras sambil terengah-engah.
Lelaki itu terkejut,
menatap anak di depannya. “Oh, kau Pras, tidak papa, ibumu cuma kelelahan, dia
akan segera sembuh,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.
Tadi pagi, ketika Pras
terbangun di rumah mas Asan, bapaknya meneleponnya. Memberi tahu ibunya jatuh
pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Pras yang panik pun langsung berpamitan pada
mas Asan untuk pulang ke Magelang.
“Beneran ga papa, Pak?”
Pras masih mengatur napas, duduk di sebelah Bapak.
“Kau tidak usah panik
begitu, ibumu tidak apa-apa, tak usah terlalu dipikirkan. Pikirkan saja
skripsimu, katanya wisuda Februari,” Bapak menggoda Pras.
Pras menganguk, ikut
tersenyum, percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
***
Pras turun dari bis,
menatap lamat-lamat kampung di depannya. Kemudian mulai berjalan menuju rumah
yang ada di pojok desa.
Dua bulan lalu akhirnya
Pras wisuda. IP-nya tidak cumlaude, dan jelas bukan lulusan terbaik. Pras cukup
bangga. Namun hanya bapaknya yang mendampingi. Ya, ibunya telah meninggal
seminggu sebelumnya. Beliau terkena stroke. Bapaknya jelas berbohong hari itu
agar tidak membuatnya khawatir. Pras masih ingat, saat dia bersama bapak dan
kakaknya mengelilingi ibunya di saat terakhir.
“Berhentilah merokok,
Pak, tidak baik. Dan kau Mela, carilah calon suami, segeralah menikah, maaf
Ibuk tidak bisa menemanimu nanti di hari bahagiamu” kata Ibuk dengan segala
kekuatan terakhirnya, membuat Mela tidak tahan dan berlari keluar ruangan untuk
menangis. Bapak juga hampir menangis, namun demi menjadi sosok bapak yang tegar,
beliau hanya tersenyum sambil memegang tangan Ibuk, menganguk.
“Pras..” panggil Ibuk
lirih. Pras mendekat, memegang tangan Ibuk. “Maaf nak, sebenarnya Ibuk tidak
ingin meninggalkanmu, Ibuk bahkan belum melihatmu wisuda,” beliau berhenti
sejenak, “Jangan suka telat makan. Ibuk tahu kau sibuk dengan skripsimu, tapi
tubuhmu juga perlu nutrisi. Kau itu anak pandai, tentu saja, karena kau anak Ibuk.”
Pras masih ingat wajah
ibunya saat itu. Dan malam itu adalah malam terakhir dia melihat wajah teduh
yang selalu membuatnya merasa tenang itu.
Pras membuka pintu
pagar, memasuki halaman rumah dengan pohon mangga di depannya.
“Assalamu’alaikum,”
ucapnya saat masuk ke dalam rumah. Lengang. Biasanya Ibuk akan menyambutnya,
meski dari dapur atau sedang mencuci, beliau akan berlari ke ruang tamu, menjawab,
Wa’alaikum salam, selamat datang di rumah
nak, sambil tersenyum. Senyum yang selalu Pras rindukan.
“Wa’alaikum salam,
selamat datang di rumah nak,” sebuah suara mengagetkan Pras. Lelaki paruh baya
itu muncul dari dalam kamar, tersenyum.
Sejak kepergian ibunya,
Pras telah berjanji, dia akan menemani Bapak di rumah. Sambil mencari pekerjaan
dia akan membantu Bapak mengurus sawah.
Kau tahu, ada hal di
dunia ini yang tidak bisa dinyatakan dengan ukuran. Tidak bisa kau beri satuan
cm, gram, atau liter. Lebih luas dari samudra, lebih besar dari keliling bumi,
lebih dalam dari palung terdalam sekalipun. Lebih tinggi dari langit, lebih
jauh dari jarak bumi dan matahari. Dan hal itu adalah kasih sayang orang tua.
“Iya pak, aku pulang.”
-end-
Cerpen ini pernah diikutkan dalam Audisi Menulis Cerpen dengan tema 'SIZE' dan masuk dalam 25 cerpen terbaik yang dibukukan.
0 komentar:
Post a Comment