Hari-hari yang berlalu terasa berbeda. Tidak ada sarapan
pagi dengan ikan goreng buatan ibu yang diiringi candaan ayah. Tidak ada sore
yang indah di alun-alun kota, berkumpul bersama keluarga sambil menikmati
jagung bakar dan segelas es teh. Kami tidak lagi jalan-jalan setiap minggu pagi.
Yang ada hanya hari-hari yang sepi. Sejak ayah dipanggil Tuhan empat bulan yang
lalu.
Tok
tok tok!
Tiga kali ketukan pada pintu kamar. Aku terbangun,
setengah sadar, melirik jam di dinding, pukul 05.30 pagi. Kemudian mata
kualihkan ke smartphoneku, menilik apakah ada pesan bbm atau line.
“Kamu sudah bangun, Dy?” tanpa kusadari, ibu sudah di
depan pintu, kemudian masuk kamar dan membuka jendela.
“Iya bu, sebentar, biar nyawanya ngumpul dulu,” aku
mengerjap-ngerjap, berusaha membiasakan mataku di ruangan yang tiba-tiba jadi
terang.
“Sarapan sudah siap..”
“Ibu sudah makan?” tanyaku.
Ibu tersenyum, kemudian menjawab, “Sudah. Ibu mau berangkat
kerja, kamu kan tau kantor ibu jauh. Kamu jangan tidur lagi ya, jangan lupa
sholat shubuh.”
Aku menganguk. Setelah itu ibu keluar dari kamarku. Aku
menatapnya hingga bayangannya menghilang.
“Yaahh, sarapan sendiri lagi deh,” batinku.
***
“Mending kamu cari pacar aja, Dy,” goda Tito.
Aku menoleh, menutup majalah yang kubaca.
“Apa hubungannya ga ada temen sarapan sama cari pacar?”
tanyaku lugu. Aku baru saja bercerita tentang keluargaku pada Tito, sahabatku,
ketika kami bertemu di perpustakaan kampus. Kami memang jarang bertemu sejak dia
sibuk menjadi asisten dosen.
“Kan katanya kamu kesepian bro, jadi mending kamu cari pacar, biar ada yang nemenin kalau mau
pergi jalan-jalan gitu. Gue sebenernya mau aja nemenin lo, cuma kan emang gue
sibuk akhir-akhir ini,” kata Tito dengan wajah sok seriusnya.
“Haha sialan lo, emang siapa juga yang mau ditemin sama
lo mulu,” jawabku geli, “tapi gimana yah, gue masih belum pengen pacaran, gue
masih punya banyak mimpi-mimpi yang mesti gue perjuangin daripada sekedar
pacar,” lanjutku.
“Gileeee, sok puitis luuuu....” Tito menepuk bahuku, aku tersenyum
geli.
“Entahlah, mungkin gue emang kesepian. Gue juga sering
sedih kalo liat ibuk, kayaknya beliau jadi jarang senyum..”
“Ibu lo itu belum bisa move on, Dy, namanya juga
ditinggal pasangan hidup selama-lamanya. Semua itu butuh waktu. Lo sebagai anak
harusnya bisa ngertiin. Gue rasa lo yang paling tau apa yang harus lo lakuin,
Dy.”
“Gue? Gue mesti ngapain? Kalo gue tau mah udah gue lakuin
dari dulu, To,” tanyaku tidak mengerti.
Tito hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku. “Kan
udah gue bilang lo yang paling tau,” kemudian Tito melirik arlojinya, “Gue
pergi dulu ya, gue ada tugas dari dosen, ntar gue main tempat lo kalo ada
waktu,” sambungnya.
“Sok sibuk lo,” kataku kesal, kemudian melanjutkan
membaca majalah yang sejak tadi kupegang, sementara Tito berjalan keluar dari
perpustakaan.
***
Aku membuka pintu kamarku, melemparkan tas kemudian
merebahkan diri di atas kasur. Mencoba memejamkan mata sejenak, namun tidak
bisa. Panas. Aku berdiri, kemudian membuka jendela kamar, membiarkan angin
sejuk menerobos masuk ke kamar. Kemudian kurebahkan lagi tubuhku, menghadap ke
jendela, sehingga dapat kulihat jelas langit yang jingga di atas sana. Sore
yang indah.
Mungkin Tito benar, selama ini aku selalu mengeluh merasa
kesepian sejak ayah meninggal, dan aku tanpa sadar menyalahkan ibu,
satu-satunya keluarga yang masih kumiliki. Aku selalu berharap ibu dapat
menggantikan peran ayah, tanpa meninggalkan perannya sebagai ibu. Aku selalu
berharap semua momen indah dulu dapat kujalani meski tanpa ayah, dan aku
berpikir ibulah yang harus melakukannya. Aku berharap tidak ada yang berubah,
padahal aku tahu tidak akan ada yang sama lagi. Selama ini aku membiarkan ibu
berjuang sendirian...
Ibu harus bekerja untuk membiayai kuliahku, yang selama
ini menjadi tugas ayahku. Ibu selalu berusaha tetap menjadi seorang ibu,
melakukan tugasnya, memasak, mencuci, walau kutahu ia sangat lelah. Ibu selalu
menyempatkan diri menyapaku, sementara aku selalu berharap meminta waktu lebih
darinya. Ibu selalu tersenyum di depanku, walau kutahu dia lebih kesepian
dariku. Karena ia telah kehilangan partner, sahabat, sekaligus cintanya.
Seharusnya aku tahu, ialah yang paling menderita.
Aku melirik jam di atas meja, pukul 16.00. Ibu selalu
membelikan aku makan malam di perjalanan pulang kerja. Aku tersenyum, tiba-tiba
terlintas sebuah ide. Aku mengambil smartphone dan mulai mengetik pesan.
‘Buk,
ga usah beliin Ady makan ya, kita dinner bareng aja yuk di alun2 J’
Baru saja aku akan menekan tombol ‘send’ tiba-tiba sebuah
panggilan masuk. Ibu.
Click!
“Assalamualaikum...”
“Wa’alaikumsalam, Dy, ini ibuk, kamu sudah pulang nak?”
“Sudah buk. Padahal Ady baru aja mau sms ibuk lho, hehe.”
“Sms apa nak? Gini, ibu mau minta maaf nanti baru pulang
pas habis isya, Ady makan malam sendiri ya.”
“...”
“Halo Ady?”
“Ohh...iya buk...”
“Ady tadi mau sms apa?”
“Enggak kok buk, Ady cuma kangen aja. Ya udah ya buk, Ady
cari makan dulu, wassalamu’alaikum...”
Click!
Perasaanku campur aduk. Aku melempar smartphoneku.
Untungnya benda itu jatuh ke kasur. Aku memungut kembali, kemudian keluar dari
kamar dan membanting pintunya cukup keras.
***
Aku menatap gundukan tanah di depanku. Bunga di atasnya
tampak masih baru walau sudah agak layu, pasti ibu rajin mengunjunginya.
Beberapa rumput liar mulai tumbuh di sekitarnya. Sebuah batu nisan dengan nama
ayah terpasang di atasnya.
Keluargaku bukan keluarga kaya, namun kami selalu merasa
berkecukupan. Ayah bekerja di sebuah perusahaan swasta di kotaku, sementara ibu
yang mengurus rumah sekaligus aku dan ayahku. Kami adalah sebuah keluarga
sederhana yang menyenangkan.
“Sejak ayah bergi, semua hari-hari Ady tidak lagi
menyenangkan, yah...” kataku lirih, di depan makam ayah.
Mataku mulai berkaca-kaca. Sungguh, aku tidak cukup bodoh
untuk menyalahkan ayah yang harus pergi terlebih dahulu. Aku yakin ayah juga
tak menginginkannya, dan kecelakaan itu tidak bisa dihindari. Aku telah
berhenti menyalahkan ibu, karena selama ini yang aku tahu dialah yang paling
terluka dengan keadaan ini. Aku juga tidak menyalahkan Tuhan, karena kutahu
jika aku melakukannya ayah pasti akan memarahiku habis-habisan. Tuhan selalu punya rencana yang indah,
kata ayah. Aku hanya merasa sedih, kecewa, yang tidak tahu harus kuungkapkan
pada siapa. Mungkin aku mulai membenci diriku sendiri.
***
Tempat ini begitu ramai. Para pengunjung banyak yang
duduk lesehan, dengan berbagai macam makanan tersaji di depan mereka. Anak-anak
berlarian kesana kemari, bermain gelembung sabun, atau sebuah mainan yang dapat
terbang tinggi ketika diputar, yang aku tidak tahu namanya. Beginilah suasana
alun-alun kota di sore hari.
Aku duduk di salah satu sudut alun-alun, sambil
memperhatikan wajah-wajah gembira di depanku. Dari makam ayah tadi, aku
memutuskan pergi ke tempat ini, karena aku tahu aku tidak akan bertemu ibu
kalau pulang ke rumah, paling tidak sampai malam. Aku benci makan sendirian di
rumah. Tito juga masih sibuk dengan urusan di laboratorium, sehingga tidak bisa
menemaniku.
Kulirik jam di smartphone, sepuluh menit lagi adzan
maghrib berkumandang. Aku berdiri, kemudian melangkahkan kakiku menuju masjid
yang berada di sebelah barat alun-alun. Aku bingung mau makan apa, jadi
kuputuskan untuk pergi ke masjid melaksanakan kewajibanku dulu. Mungkin karena
langkahku yang terlalu cepat, sampai di masjid ternyata belum adzan. Aku
memutuskan untuk duduk di salah satu sudut masjid tersebut.
“Sendirian aja mas?”
Aku menoleh. Seorang pemuda berpakaian agak lusuh dengan
tas yang berukuran sedang yang sepertinya overload
sudah duduk di sebelahku. Dia membuka tutup botol air mineral yang dipegangnya,
kemudian meminum isinya.
Aku tersenyum. Menganguk.
“Masnya juga sendirian?” tanyaku basa-basi.
“Iya mas, saya musafir, seorang petualang,” katanya
sambil tersenyum.
“Wah, traveler mas? Asik dong, saya juga punya mimpi
keliling Indonesia sendirian.” Aku mulai tertarik dengan orang di sebelahku.
“Sendirian mas? Yakin? Sendiri itu ga asik loh..”
“Kan ntar ketemu banyak orang mas..”
Lelaki itu tersenyum. “Tapi akan tiba saat kamu merasa
rindu pada keluarga dan teman-temanmu.”
“Entahlah mas, maaf kalau saya terkesan ngotot. Tapi saya
sedang bosan dengan kehidupan saya. Monoton. Toh orang-orang di dekat saya
sekarang terasa jauh,” kata-kata itu terlontar begitu saja. “Duh maaf ya mas
saya malah curhat.”
Lelaki itu menggeleng, kemudian tersenyum dan menjadab, “tidak
papa mas, saya selalu senang bertemu kawan baru, hmmm..”, lelaki itu nampak
berpikir, kemudian melanjutkan, “dalam keadaan apapun, jangan pernah merasa
sendiri mas, saya tau mas pasti punya teman dan sahabat yang bisa diajak
berbagi...”
“Iya mas, tapi sahabat saya akhir-akhir ini sedang sibuk,
tidak ada waktu untuk saya..”
“Kalau teman kamu pergi, kamu tetap masih punya
keluarga...”
“Apalagi keluarga mas, saya sedang ada masalah..”
“Walau begitu, tetap jangan pernah merasa sendiri. Bahkan
ketika teman maupun keluargamu pergi, kau akan selalu punya Allah, tuhanmu.”
Aku terdiam. Menghela nafas.
“Mungkin masnya benar. Tapi sejujurnya saya rindu pada
keluarga saya. Ibu saya. Hanya tak bisa mengungkapkan...”
Senyum lelaki itu melebar. “Mas, di dunia ini tidak
semuanya bisa diungkapkan dengan sebuah kalimat. Ada hal-hal berharga yang
justru tidak bisa diungkapkan dengan lisan. Saat itu, biarkan hati yang
berbicara, tak terdengar memang, tapi Tuhan selalu bisa mendengarnya. Dan
Tuhanlah yang akan menyampaikan. Itulah keajaiban sebuah doa. Sudah iqamat mas,
mari sholat dulu.”
***
Bruummmm....
Aku mendengar bunyi sepeda motor yang masuk ke garasi,
itu pasti ibu. Aku keluar dari kamar, kemudian kulihat ibu masuk.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam, buk...”
“Kenapa Dy? Tumben, kamu nungguin ibuk? Oya tadi Ady udah
makan malam kan?”
“Sudah kok buk,” jawabku, “ibuk capek ga?”
“Kenapa Dy?”
“Kalau mau, Ady pengen ngajak ibuk jalan-jalan, ke
alun-alun apa kemana gitu, tapi kalau ibuk ga capek sih...”
Ibu terdiam beberapa saat, kemudian menjawab, “tunggu
bentar ya, ibuk mandi trus dandan yang cantik dulu, kan mau jalan-jalan sama
anak ibuk yang ganteng.”
Aku tersenyum, menganguk.
Kau tahu apa yang kulakukan setelah bertemu orang aneh
tadi? Bukan hal yang luar biasa, aku hanya mengambil air wudhu kemudian
melaksanakan shalat maghrib. Kemudian di hadapan-Nya aku sampaikan sebuah doa,
“Tuhan, aku sayang
ibuku, ampunilah dosa-dosanya, ya Tuhan. Ringankanlah pekerjaannya. Kembalikan
senyum cantiknya. Dan ijinkanlah hamba membuatnya bahagia...”
Bagiku hari-hari
tanpa ayah memang berbeda, namun bukan yang terburuk. Karena dengan kepergian
ayah, aku menyadari betapa aku menyanyangi ibuku, betapa aku membutuhkannya. Tuhan selalu punya rencana yang indah,
kata ayah. Asal kau selalu percaya, dan doa-doa terbaik selalu kau sampaikan
pada-Nya.
-end-