[Cerpen] Biarlah Tuhan yang Menyampaikan

Saturday, February 14, 2015

Hari-hari yang berlalu terasa berbeda. Tidak ada sarapan pagi dengan ikan goreng buatan ibu yang diiringi candaan ayah. Tidak ada sore yang indah di alun-alun kota, berkumpul bersama keluarga sambil menikmati jagung bakar dan segelas es teh. Kami tidak lagi jalan-jalan setiap minggu pagi. Yang ada hanya hari-hari yang sepi. Sejak ayah dipanggil Tuhan empat bulan yang lalu.
Tok tok tok!
Tiga kali ketukan pada pintu kamar. Aku terbangun, setengah sadar, melirik jam di dinding, pukul 05.30 pagi. Kemudian mata kualihkan ke smartphoneku, menilik apakah ada pesan bbm atau line.
“Kamu sudah bangun, Dy?” tanpa kusadari, ibu sudah di depan pintu, kemudian masuk kamar dan membuka jendela.
“Iya bu, sebentar, biar nyawanya ngumpul dulu,” aku mengerjap-ngerjap, berusaha membiasakan mataku di ruangan yang tiba-tiba jadi terang.
“Sarapan sudah siap..”
“Ibu sudah makan?” tanyaku.
Ibu tersenyum, kemudian menjawab, “Sudah. Ibu mau berangkat kerja, kamu kan tau kantor ibu jauh. Kamu jangan tidur lagi ya, jangan lupa sholat shubuh.”
Aku menganguk. Setelah itu ibu keluar dari kamarku. Aku menatapnya hingga bayangannya menghilang.
“Yaahh, sarapan sendiri lagi deh,” batinku.
***
“Mending kamu cari pacar aja, Dy,” goda Tito.
Aku menoleh, menutup majalah yang kubaca.
“Apa hubungannya ga ada temen sarapan sama cari pacar?” tanyaku lugu. Aku baru saja bercerita tentang keluargaku pada Tito, sahabatku, ketika kami bertemu di perpustakaan kampus. Kami memang jarang bertemu sejak dia sibuk menjadi asisten dosen.
“Kan katanya kamu kesepian bro, jadi mending kamu cari pacar, biar ada yang nemenin kalau mau pergi jalan-jalan gitu. Gue sebenernya mau aja nemenin lo, cuma kan emang gue sibuk akhir-akhir ini,” kata Tito dengan wajah sok seriusnya.
“Haha sialan lo, emang siapa juga yang mau ditemin sama lo mulu,” jawabku geli, “tapi gimana yah, gue masih belum pengen pacaran, gue masih punya banyak mimpi-mimpi yang mesti gue perjuangin daripada sekedar pacar,” lanjutku.
“Gileeee, sok puitis luuuu....” Tito menepuk bahuku, aku tersenyum geli.
“Entahlah, mungkin gue emang kesepian. Gue juga sering sedih kalo liat ibuk, kayaknya beliau jadi jarang senyum..”
“Ibu lo itu belum bisa move on, Dy, namanya juga ditinggal pasangan hidup selama-lamanya. Semua itu butuh waktu. Lo sebagai anak harusnya bisa ngertiin. Gue rasa lo yang paling tau apa yang harus lo lakuin, Dy.”
“Gue? Gue mesti ngapain? Kalo gue tau mah udah gue lakuin dari dulu, To,” tanyaku tidak mengerti.
Tito hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku. “Kan udah gue bilang lo yang paling tau,” kemudian Tito melirik arlojinya, “Gue pergi dulu ya, gue ada tugas dari dosen, ntar gue main tempat lo kalo ada waktu,” sambungnya.
“Sok sibuk lo,” kataku kesal, kemudian melanjutkan membaca majalah yang sejak tadi kupegang, sementara Tito berjalan keluar dari perpustakaan.
***
Aku membuka pintu kamarku, melemparkan tas kemudian merebahkan diri di atas kasur. Mencoba memejamkan mata sejenak, namun tidak bisa. Panas. Aku berdiri, kemudian membuka jendela kamar, membiarkan angin sejuk menerobos masuk ke kamar. Kemudian kurebahkan lagi tubuhku, menghadap ke jendela, sehingga dapat kulihat jelas langit yang jingga di atas sana. Sore yang indah.
Mungkin Tito benar, selama ini aku selalu mengeluh merasa kesepian sejak ayah meninggal, dan aku tanpa sadar menyalahkan ibu, satu-satunya keluarga yang masih kumiliki. Aku selalu berharap ibu dapat menggantikan peran ayah, tanpa meninggalkan perannya sebagai ibu. Aku selalu berharap semua momen indah dulu dapat kujalani meski tanpa ayah, dan aku berpikir ibulah yang harus melakukannya. Aku berharap tidak ada yang berubah, padahal aku tahu tidak akan ada yang sama lagi. Selama ini aku membiarkan ibu berjuang sendirian...
Ibu harus bekerja untuk membiayai kuliahku, yang selama ini menjadi tugas ayahku. Ibu selalu berusaha tetap menjadi seorang ibu, melakukan tugasnya, memasak, mencuci, walau kutahu ia sangat lelah. Ibu selalu menyempatkan diri menyapaku, sementara aku selalu berharap meminta waktu lebih darinya. Ibu selalu tersenyum di depanku, walau kutahu dia lebih kesepian dariku. Karena ia telah kehilangan partner, sahabat, sekaligus cintanya. Seharusnya aku tahu, ialah yang paling menderita.
Aku melirik jam di atas meja, pukul 16.00. Ibu selalu membelikan aku makan malam di perjalanan pulang kerja. Aku tersenyum, tiba-tiba terlintas sebuah ide. Aku mengambil smartphone dan mulai mengetik pesan.
‘Buk, ga usah beliin Ady makan ya, kita dinner bareng aja yuk di alun2 J
Baru saja aku akan menekan tombol ‘send’ tiba-tiba sebuah panggilan masuk. Ibu.
Click!
“Assalamualaikum...”
“Wa’alaikumsalam, Dy, ini ibuk, kamu sudah pulang nak?”
“Sudah buk. Padahal Ady baru aja mau sms ibuk lho, hehe.”
“Sms apa nak? Gini, ibu mau minta maaf nanti baru pulang pas habis isya, Ady makan malam sendiri ya.”
“...”
“Halo Ady?”
“Ohh...iya buk...”
“Ady tadi mau sms apa?”
“Enggak kok buk, Ady cuma kangen aja. Ya udah ya buk, Ady cari makan dulu, wassalamu’alaikum...”
Click!
Perasaanku campur aduk. Aku melempar smartphoneku. Untungnya benda itu jatuh ke kasur. Aku memungut kembali, kemudian keluar dari kamar dan membanting pintunya cukup keras.
***
Aku menatap gundukan tanah di depanku. Bunga di atasnya tampak masih baru walau sudah agak layu, pasti ibu rajin mengunjunginya. Beberapa rumput liar mulai tumbuh di sekitarnya. Sebuah batu nisan dengan nama ayah terpasang di atasnya.
Keluargaku bukan keluarga kaya, namun kami selalu merasa berkecukupan. Ayah bekerja di sebuah perusahaan swasta di kotaku, sementara ibu yang mengurus rumah sekaligus aku dan ayahku. Kami adalah sebuah keluarga sederhana yang menyenangkan.
“Sejak ayah bergi, semua hari-hari Ady tidak lagi menyenangkan, yah...” kataku lirih, di depan makam ayah.
Mataku mulai berkaca-kaca. Sungguh, aku tidak cukup bodoh untuk menyalahkan ayah yang harus pergi terlebih dahulu. Aku yakin ayah juga tak menginginkannya, dan kecelakaan itu tidak bisa dihindari. Aku telah berhenti menyalahkan ibu, karena selama ini yang aku tahu dialah yang paling terluka dengan keadaan ini. Aku juga tidak menyalahkan Tuhan, karena kutahu jika aku melakukannya ayah pasti akan memarahiku habis-habisan. Tuhan selalu punya rencana yang indah, kata ayah. Aku hanya merasa sedih, kecewa, yang tidak tahu harus kuungkapkan pada siapa. Mungkin aku mulai membenci diriku sendiri.
***
Tempat ini begitu ramai. Para pengunjung banyak yang duduk lesehan, dengan berbagai macam makanan tersaji di depan mereka. Anak-anak berlarian kesana kemari, bermain gelembung sabun, atau sebuah mainan yang dapat terbang tinggi ketika diputar, yang aku tidak tahu namanya. Beginilah suasana alun-alun kota di sore hari.
Aku duduk di salah satu sudut alun-alun, sambil memperhatikan wajah-wajah gembira di depanku. Dari makam ayah tadi, aku memutuskan pergi ke tempat ini, karena aku tahu aku tidak akan bertemu ibu kalau pulang ke rumah, paling tidak sampai malam. Aku benci makan sendirian di rumah. Tito juga masih sibuk dengan urusan di laboratorium, sehingga tidak bisa menemaniku.
Kulirik jam di smartphone, sepuluh menit lagi adzan maghrib berkumandang. Aku berdiri, kemudian melangkahkan kakiku menuju masjid yang berada di sebelah barat alun-alun. Aku bingung mau makan apa, jadi kuputuskan untuk pergi ke masjid melaksanakan kewajibanku dulu. Mungkin karena langkahku yang terlalu cepat, sampai di masjid ternyata belum adzan. Aku memutuskan untuk duduk di salah satu sudut masjid tersebut.
“Sendirian aja mas?”
Aku menoleh. Seorang pemuda berpakaian agak lusuh dengan tas yang berukuran sedang yang sepertinya overload sudah duduk di sebelahku. Dia membuka tutup botol air mineral yang dipegangnya, kemudian meminum isinya.
Aku tersenyum. Menganguk.
“Masnya juga sendirian?” tanyaku basa-basi.
“Iya mas, saya musafir, seorang petualang,” katanya sambil tersenyum.
“Wah, traveler mas? Asik dong, saya juga punya mimpi keliling Indonesia sendirian.” Aku mulai tertarik dengan orang di sebelahku.
“Sendirian mas? Yakin? Sendiri itu ga asik loh..”
“Kan ntar ketemu banyak orang mas..”
Lelaki itu tersenyum. “Tapi akan tiba saat kamu merasa rindu pada keluarga dan teman-temanmu.”
“Entahlah mas, maaf kalau saya terkesan ngotot. Tapi saya sedang bosan dengan kehidupan saya. Monoton. Toh orang-orang di dekat saya sekarang terasa jauh,” kata-kata itu terlontar begitu saja. “Duh maaf ya mas saya malah curhat.”
Lelaki itu menggeleng, kemudian tersenyum dan menjadab, “tidak papa mas, saya selalu senang bertemu kawan baru, hmmm..”, lelaki itu nampak berpikir, kemudian melanjutkan, “dalam keadaan apapun, jangan pernah merasa sendiri mas, saya tau mas pasti punya teman dan sahabat yang bisa diajak berbagi...”
“Iya mas, tapi sahabat saya akhir-akhir ini sedang sibuk, tidak ada waktu untuk saya..”
“Kalau teman kamu pergi, kamu tetap masih punya keluarga...”
“Apalagi keluarga mas, saya sedang ada masalah..”
“Walau begitu, tetap jangan pernah merasa sendiri. Bahkan ketika teman maupun keluargamu pergi, kau akan selalu punya Allah, tuhanmu.”
Aku terdiam. Menghela nafas.
“Mungkin masnya benar. Tapi sejujurnya saya rindu pada keluarga saya. Ibu saya. Hanya tak bisa mengungkapkan...”
Senyum lelaki itu melebar. “Mas, di dunia ini tidak semuanya bisa diungkapkan dengan sebuah kalimat. Ada hal-hal berharga yang justru tidak bisa diungkapkan dengan lisan. Saat itu, biarkan hati yang berbicara, tak terdengar memang, tapi Tuhan selalu bisa mendengarnya. Dan Tuhanlah yang akan menyampaikan. Itulah keajaiban sebuah doa. Sudah iqamat mas, mari sholat dulu.”
***
Bruummmm....
Aku mendengar bunyi sepeda motor yang masuk ke garasi, itu pasti ibu. Aku keluar dari kamar, kemudian kulihat ibu masuk.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam, buk...”
“Kenapa Dy? Tumben, kamu nungguin ibuk? Oya tadi Ady udah makan malam kan?”
“Sudah kok buk,” jawabku, “ibuk capek ga?”
“Kenapa Dy?”
“Kalau mau, Ady pengen ngajak ibuk jalan-jalan, ke alun-alun apa kemana gitu, tapi kalau ibuk ga capek sih...”
Ibu terdiam beberapa saat, kemudian menjawab, “tunggu bentar ya, ibuk mandi trus dandan yang cantik dulu, kan mau jalan-jalan sama anak ibuk yang ganteng.”
Aku tersenyum, menganguk.
Kau tahu apa yang kulakukan setelah bertemu orang aneh tadi? Bukan hal yang luar biasa, aku hanya mengambil air wudhu kemudian melaksanakan shalat maghrib. Kemudian di hadapan-Nya aku sampaikan sebuah doa,
Tuhan, aku sayang ibuku, ampunilah dosa-dosanya, ya Tuhan. Ringankanlah pekerjaannya. Kembalikan senyum cantiknya. Dan ijinkanlah hamba membuatnya bahagia...”
Bagiku hari-hari tanpa ayah memang berbeda, namun bukan yang terburuk. Karena dengan kepergian ayah, aku menyadari betapa aku menyanyangi ibuku, betapa aku membutuhkannya. Tuhan selalu punya rencana yang indah, kata ayah. Asal kau selalu percaya, dan doa-doa terbaik selalu kau sampaikan pada-Nya.
-end-

0 komentar:

Post a Comment